JAYAPURA – Rencana Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim untuk mengganti kurikulum dalam era kepemimpinannya dianggap perlu mengkaji jauh dengan wajah pendidikan di daerah. Pasalnya tak semua kebijakan pendidikan bisa diterapkan sama.
Selain itu, pihak kementerian diminta untuk tidak terlalu sering mengganti kurikulum. Jangan setiap pergantian menteri kurikulum juga berubah.
“Secara prbadi saya harus mengatakan bahwa kok setiap saat ganti pemimpin, selalu ganti kurikulum. Saya masih ingat ketika Presiden Jokowi memimpin, menterinya Anies Baswedan dan kurikulumnya berubah kemudian kini pak Nadiem ada wacana mengganti kurikulum lagi. Nah anak-anak di Papua ini menyesuaikannya susah, tidak segampang yang dipikirkan pemerintah pusat,” beber Jhony Banua Rouw, salah satu anggota DPR Papua, Selasa (19/11).

Pria yang pernah duduk di Komisi V yang membidangi pendidikan ini mengatakan kurikulum yang lama belum dijalankan 100 persen kini sudah mau diganti kurikulum yang baru.
Ia mencontohkan kebijakan dalam bidang pendidikan yang kemungkinan tidak maksimal diterapkan. Dulunya ada yang memilih waktu belajar mengajar hingga pukul 3 sore, lalu ada yang menerapkan 6 hari belajar lalu ada juga 5 hari. Pertanyaannya, yang kelas hingga sore ini anak-anak makan siangnya dimana? Kalau di daerah Jawa, Jakarta tentunya kantin banyak dan bisa memilih makan apa saja. Namun bagaimana yang sekolah di pedalaman? Mau makan di mana?.
“Mereka berjalan kaki selama 2-3 jam untuk sampai sekolah kemudian belajar sampai sore. Makan siangnya di mana dan pulang sekolahnya bisa malam hari. Sementara besok masih harus sekolah, nah ini bagaimana,” cecar Jhony.
“Lihat masalah kami di Papua, kesulitan kami. Mungkin kami cocok langsung praktek, berpola asrama nah ini mungkin tepat. Lalu ujian berbasis komputer. Internet saja belum punya,” sindirnya.
Artinya kata Jhony bila ingin membuat satu kebijakan maka paling tidak harus dibarengi dengan fasilitas. “Kalau dijawab sudah ada dana BOS. Pertanyaan berikutnya berapa sih dana BOS. Apakah bisa mengcover masalah-masalah tadi. Jadi saran kami paling tidak 20 atau 25 tahun barulah ganti kurikulum agar ada evaluasi lebih dulu,” pungkasnya. (ade/nat)
Kami mau ada perubahan agar lebih tepat tapi kalau bisa ini terakhir dan kalau mau dirubah nanti tunggu 20 atau 25 tahun lagi. Ini baru 5 tahun sudah ganti lagi belum bisa dievaluasi hasil kurikulum kemarin seperti apa. Outputnya kita belum lihat dan tidak bisa hanya 5 tahun. Saya pikir pemerintah pusat cukup memberikan kurikulum tertentu saja sedangkan yang lain biarkan Papua yang menentukan. Jika menerapkan 100 persen kurikulum dari pusat belum tentu akan berjalan semua. (ade/nat)