Para orang tua saat ikut hadir dalam jalan santai dalam memperingati HDI 2021 di SLBN 1 Jayapura dan ia rela menunggu anaknya belajar sampai selesai, Jumat (3/12)kemarin.
Bincang-bincang dengan Orang Tua yang memiliki Anak Disabilitas
Hari Disabilitas Internasional (HDI) diperingati setiap 3 Desember. Peringatan HDI 2021 juga diperingati di SLBN 1 Jayapura, Jumat, (3/12). Lantas bagaimana pesan dan kesan para orang tua yang memiliki anak disabilitas dan harus menyekolahkan mereka di tengah keterbatasannya?
Laporan: Priyadi-Jayapura
Anak adalah titipan dan pemberian Tuhan di dunia, walaupun kondisi anak saat dilahirkan tidak normal karena ada gangguan jiwa atau cacat tubuh, keterbelakangan mental atau gangguan lainnya, tetaplah dirawat dan dijaga, jangan disia-siakan tetap diberikan haknya.
Oleh karena itu, momentum memperingati Hari Disabilitas Internasional yang jatuh pada Jumat, 3 Desember 2021, Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) 1 Jayapura ikut memperingatinya dengan menggelar jalan santai bersama siswa dan orang.
Kesempatan tersebut wartawan Cenderawasih Pos mencoba mewawancarai beberapa orang tua yang memiliki anak yang disekolahkan di SLBN 1 Jayapura, bagaimana suka duka dalam merawat anak yang tidak normal hingga proses belajar mengajarnya.
Yulianti dan Seni adalah kedua orang tua yang memiliki anak gangguan down sindrom yang kini sudah mengenyam sekolah di bangku kelas 7 sekolah dasar luar biasa. Mereka menceritakan, walaupun memiliki keterbelakangan mental, mereka tetap menjaga dan merawatnya dengan baik, tidak menyia-nyiakan dan tidak menutup diri dengan masyarakat yang memiliki anak normal.
Mereka mengakui, apa yang telah dititipkan dan diberikan oleh Tuhan ini harus dijaga dan dirawat dengan baik, sekalipun membutuhkan pengorbanan yang sangat luar biasa untuk merawatnya, tidak mungkin darah dagingya yang mereka dilahirkan itu tidak dirawat dengan baik.
Anak yang tidak normal ini bukan menjadi aib bagi mereka di tengah masyarakat. Mereka punya semangat, kalau anak orang lain bisa, kenapa anak mereka tidak bisa. Hal inilah yang menjadi motivasi mereka untuk tetap menyekolahkan anak-anaknya, walaupun mengalami down sindrom.
” Memang kami tetap jaga, namun saya yakin ketika mereka sudah mempunyai banyak teman dan mampu bersosialisasi, pasti ada kemandirian untuk bisa belajar hidup mandiri,”kata Yulianti.
Orang tua lainnya, Seni yang mempunyai anak kembar laki-laki mengatakan, dirinya mengetahui kalau anaknya down syndrome sejak umur 6 tahun. Waktu itu terlihat karena lambat dalam berpikir dan susah dalam berbicara saat menyambung kata. Walaupun demikian, ia tetap terus berusaha semaksimal mungkin untuk melatih kedua anaknya dari empat bersaudara itu untuk bisa tetap sekolah dan mendapatkan haknya.
Dan kini, kedua anakanya itu sudah bisa mulai belajar disuruh, bisa main HP dan ada hal yang positif semenjak disekolahkan, bisa belajar sedikit demi sedikit.
Sementara itu, Yohana yang memiliki anak tuna wicara yang disekolahkan di SLB Negeri 1 Jayapura juga mengatakan hal yang sama. Walaupun anaknya memiliki gangguan tidak normal seperti anak-anak lainnya, namun ia tetap merawatnya dengan baik dan diberikan pendidikan yang sesuai. Walaupun anaknya tidak normal, namun jika dilatih dari kecil, mereka akan terbiasa dan bisa menyesuaikan diri dengan anak-anak yang normal.
Untuk itu, ia tidak minder ataupun menutup diri, dirinya tetap memberikan yang terbaik untuk anaknya.
Ia mengakui, jika anak tidak normal orang tuanya menutup diri atau malu, justru ini akan menjadi beban pada keluarga mereka, karena ke depannya tentu anak tersebut akan semakin tumbuh dan besar, kalau tidak bisa mandiri dan berbaur dengan yang lain, maka tentu akan lebih susah dalam merawatnya dan mengaturnya.(*)